Komunis: Melemah dan Mengering
Oleh:
Dwiki Septiandini
Fieka Nadya
Ari Supriyatno
Karena tindakan PKI yang cukup Radikal akhirnya timbul gerakan anti komunis dan pemerintah
kolonial Belanda mulai mengambil tindakan tegas. Ketegasan itu diwujudkan
dengan penangkapan dan pengasingan terhadap pimpinan komunis dari Indonesia.
Diawali dengan Sneevliet tahun 1919. Tan Malaka tahun 1922 dibuang dan diusir
dari Indonesia ,sedangkan Semaun pada tahun 1923. Dengan demikian semua pemimpin PKI seperti
Darsono, Ali Archam, Alimin, Musso merasa terancam. Pada Konggres PKI tanggal
11-15 Desember 1924 di kota Gede Yogyakarta, dibahas mengenai rencana gerakan
bersama di seluruh Indonesia. Rencana pemberontakan ini pada awalnya tidak
memperoleh persetujuan Komintern. Aksi-aksi seperti pemogokan mendapat
perhatian serius oleh pemerintah kolonial Belanda bahkan rapat-rapat PKI juga
dibubarkan (Shiraishi,1997:432).
Pada 25 Desember 1925,
pemimpin-pemimpin utama PKI, Sardjono, Boedisoetjitro, Winanta, Moesso, dan
beberapa lainnya mengadakan pertemuan di Prambanan, mereka memutuskan untuk
membuat rencana pemberontakan yang konkret dan menyerukan semua anggota partai untuk
menciptakan suatu struktur partai bawah tanah. PKI memimpin sebuah
pemberontakan yang nantinya akan menentukan nasib, bukan hanya PKI, tetapi juga
pergerakan pada umumnya.[1]
“Selama tahun 1925, unsur-unsur yang lebih mengekstrim
dalam Partai Komunis di bawah pengawasan Dahlan dan Soekra, dua pemimpin yang
menolak patuh kepada kepemimpinan yang tetap. Mereka terus menghasut
dicetuskannya revolusi dan memakai metode-metode teoritis. Dalam
usaha-usahanya, mereka didukung oleh dua pemimpin penting yang sudah mapan,
Alimin dan Musso. Kelompok ini berhasil menguasai suatu rapat komisi
pelaksanaan partai tersebut dan para pemimpin persatuan-persatuan dagang pokok
di bawah pengawasan komunis, yang diselenggarakan di Candi Prambanan (antara
Yogyakarta dan Surakarta). Pada pertengahan bulan Oktober 1925. Sebagai
hasilnya, revolusi ditetapkan akan diadakan segera (George McTurnan Kahin,
1995. Hal. 103).
Januari 1926 Musso, Boedisoetjitro, dan Soegono
rencananya akan ditangkap oleh Gubernur Jendral van Limburg Stirum tetapi
mereka telah pergi ke Singapura. Kekacauan hari demi hari semakin memuncak dan
hampir semua pimpinan PKI berada di luar Indonesia, seperti di Singapura ada
Alimin, Musso, Boedisoetjitro, Soegono, Subakat, Sanusi, dan Winata. Sedangkan
Tan Malaka di Manila dan Darsono di Uni Soviet. Akhirnya “PKI melakukan gerakan
dengan “gaya lokal” dan aksi lokal (local action) yang di antaranya tidak
banyak berkaitan dengan komunisme teoritis. Di Banten partai ini menjadi Islam
yang berlebih-lebihan. PKI berkembang pesat di Sumatra dan Jawa tanpa
koordinasi yang kuat, ketika partai ini semakin bertambah menarik bagi
unsur-unsur masyarakat pedesaan yang menyukai kekacauan”(M. C. Ricklefs, 2005; 271).
Alimin kemudian ke Manila untuk menemui Tan Malaka,
selaku wakil Komintern untuk wilayah Asia Tenggara dan Australia. Dengan
harapan rencana itu akan mendapat dukungannya, ternyata di luar dugaan Tan
Malaka menolak keputusan Parambanan dengan alasan: 1) Situasi revolusioner
belum ada; 2) PKI belum cukup berdisiplin; 3) Seluruh rakyat belum berada di
bawah PKI; 4) Tuntutan/sumbangan konkret belum dipikirkan; 5) Imperialisme
internasional bersekutu melawan komunisme.[2]
Reaksi Tan Malaka membuat perpecahan dalam organisasi
PKI, tetapi Alimin dan Musso tidak gentar. Kemudian Alimin dan Musso pergi ke
Moskow untuk membahas tentang keputusan Prambanan 16 Maret 1926. Alih-alih
mendapat dukungan sebaliknya mereka harus diindoktrinasi lagi. “Alimin dan
Musso tiba di Malaya melalui Kanton pada pertengahan bulan Desember 1926,
setelah aksi terjadi. Pada tanggal 18 Desember 1926 mereka ditahan orang
Inggris di Johor dan tidak kembali ke Indonesia lagi[3].
Bagai ayam kehilangan induknya, PKI tanpa pemimpin yang
militan. Kegiatannya kacau, ditambah lagi para anggota bingung ikut Tan Malaka atau
Alimin-Musso. Tidak adanya koordinasi para pemimpin ekstrimis, sebut saja
Sardjono dan kawankawan merasa berhasil menguasai dan coba mempertahankan
pengaruh mereka. Bahkan Suparjo yang kembali ke Indonesia untuk memberitahukan
hasil diskusinya dengan Tan Malaka dan Subakat tidak dihiraukan. Walaupun
rencana pemberontakan ditunda tetapi akhirnya meletus juga pada malam hari
tanggal 12 November 1926 di Jawa Barat (Banten, Priangan) dan menyusul 1
Januari 1927 di Sumatra Barat. Pemberontakan di Batavia dapat ditumpas dalam
waktu satu hari. Di Banten dan Priangan penumpasan selesai pada bulan Desember.
Sedangkan di Sumatra dapat ditumpas selama tiga hari dan mendapat perlawanan
yang relatif kuat. Menurut Ricklefs di Jawa seorang Eropa tewas begitu pula di
Sumatra. “Sekitar 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak, kira-kira
4.500 orang dijebloskan ke dalam penjara dan 1.038 orang dikirim ke kamp
penjara yang terkenal mengerikan di Boven Digul, Irian, yang khusus dibangun
pada tahun 1927 untuk mengurung mereka.”PKI hancur dan dilarang oleh pemerintah
Kolonial Belanda.[4]
Dari
pengantar diatas terdapat beberapa
perbandingan mengenai Partai Komunis Indonesia dengan Organisasi-organisasi
pergerakan lain. PKI merupakan salah satu organisasi yang terbentuk atas
prakarsa dari orang-orang luar seperti H.J.M Snivleet dan rekan-rekannya, bukan
golongan bumi putera, sehingga segala sesuatunya selalu mendapatkan masukan
dari orang-orang luar. Jadi bisa kita tarik kesimpulan bahwa organisasi PKI ini
segala akar pemikirannya berasal dari luar. Berbeda dengan organisasi seperti
Budi Utomo yang bersifat kedaerahan dan menjunjung segala sesuatu yang berbau
kedaerahan terutama daerah Jawa.
Tokoh
ISDV/PKI terlalu menonjolkan unsur internasional dalam program perjuangan PPKR, Sarekat Islam mengutamakan unsur “Islam” sebagai landasan untuk mempersatukan
bangsa, sedangkan Sarekat Hindia (Insulinde) justru menekankan kepada unsur
“kenasionalan”sebagai unsur yang harus lebih dipentingkan daripada
pertimbangan-pertimbangan “keagamaan”, “perjuangan kelas “ dan “kedaerahan”
dalam usaha untuk membangkitkan aspirasi nasional dan kesadaran sosial. Alur gerakan PKI secara langsung dikendalikan oleh moscow
atau dari luar negeri, karena pada waktu itu pusat dari paham komunis itu
sendiri adalah Moscow (Rusia) yang kemudian menyebar keseluruh dunia termasuk
wilayah daratan Asia terutama Cina, Korea Utara dan Indonesia itu sendiri. Dari
beberapa buku yang kami baca banyak sekali yang menyebutkan tentang betapa
radikalnya tindakan PKI itu seperti melakukan berbagai macam pemberontakan yang
pada akhirnya terjadi pada tahun 1926 yang merupakan tanda kehancuran bagi PKI
itu sendiri.
Adapun tujuan berdirinya PKI adalah untuk membentuk sebuah
negara yang berpaham komunis. Dalam hal ini Indonesia menjadi sasarannya karena
sebagian besar penduduk Indonesia adalah kaum buruh/petani (proletar) sehingga
sesuai dengan tujuan PKI yakni tergabung dalam Proletar dunia. Selain itu
mereka juga dalam mencari perhatian dengan masyarakat dengan cara membangun
konflik di dalam masyarakat maupun tubuh keanggotaan PKI itu sendiri.
Daftar Pustaka
George McTurnan Kahin. 1995.Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia: RefleksiPergumulan Lahirnya
Republik. UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan.
M.C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Poesponegoro
, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia V – Zaman Kebangkitan Nasional
dan Masa Hindia Belanda . –cet-2 Edisi Pemuktahiran. Jakarta : Balai Pustaka.
.1991. Pusat Sejarah dan Tradisi
ABRI, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid I, Jakarta.
Shiraishi,
Takashi. 1997. Zaman Bergerak:
radikalisme rakyat di Jawa, 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Soe Hok Gie. 2005. Orang-orang
Di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta. Bentang Pustaka.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28277/4/Chapter%20II.pdf,
(diakses pada hari senin,10 maret 2014, pukul 15:00 WIB).
[1] Op. Cit.
Hal, 436
[2]
Soe Hok Gie.
Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta. Bentang Pustaka. 2005.
hlm.10-11. Untuk kejelasan alasan Tan Malaka baca, Tan Malaka. Aksi Massa.
Jakarta. CEDI dan Aliansi Press. 2000. Buklet ini ditulis Tan Malaka pada
pertengahan tahun 1926. berisi pokok-pokok pikirannya setelah berkeliling Jawa
dan Sumatra, tepat sebelum aksi 1927 meletus.
[3] George McTurnan Kahin. op.cit. hlm.107
[4] M. C.
Ricklefss. Op. Cit. Hal. 272.
0 comments:
Post a Comment