“THONGIN FANGIN TJITJONG UNGKAPAN PEMERSATU MASYARAKAT
DI PULAU BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG”
Oleh: Rigo
Firmanto
Juara Harapan 1 Lomba Karya Ilmiah Kebudayaan Tingkat Mahasiswa Tahun
2016, diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BNPB) Sumatera Barat
dengan tema: “Revitalisasi Kearifan Lokal bagi Penguatan Multikulturalisme
Indonesia”
Padang, 8 Desember 2016.
1.
Latar
Belakang
Indonesia
adalah sebuah kepulauan di Nusantara yang dihuni oleh ratusan suku bangsa
dengan ragam adat istiadat, budaya, bahasa dan sejarahnya masing-masing. Kepulauan
Indonesia terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia yang merupakan
salahsatu jalur pelayaran dunia yang paling ramai dilayari. Ditambah lagi dengan
tanah dan lautnya yang kaya akan hasil alam mendorong kedatangan banyak bangsa
yang tertarik untuk datang,membuat bangsa Indonesia terbiasa berinteraksi
dengan bangsa asing yang datang kewilayahnya. dampak langsung dari interaksi
dengan bangsa luar ini yang paling pertama adalah masuknya arus kebudayaan dari
daerah lain ke wilayah Indonesia yang menambah khazanah budaya bangsa Indonesia.
Keberagaman
ini telah ada sejak dahulu kala, mengingat bangsa Indonesia telah melakukan
kontak dengan bangsa lain sejak permulaan tarikh masehi, terutama dengan bangsa
India dan Tiongkok. Sejak saat itu interaksi terus dilakukan membuat budaya bangsa Indonesia kian
berwarna, namun yang patut di bangakan adalah meskipun hidup di dalam perbedaan
gesekan antar budaya dan etnis jarang terdengar. Contohnya adalah kemaharajaan
Sriwijaya yang berorientasi kepada ajaran agama Buddha bahkan Sriwijaya
merupakan pusat pengajaran agama Buddha di Asia Tenggara, namun dari sisa
kebudayaannya justru ditemukan daerah-daerah bawahannya yang mengembangkan
kebudayaan Hindu seperti di situs Bumi Ayu di Kabupaten Pali provinsi Sumatera
Selatan dan situs Kotakapur di Kualamendu provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Ini berarti bahwa Sriwijaya telah memaknai sebuah perbedaan sebagai sebuah
kekayaan sehingga mampu menciptakan harmoni diantara berbagai macam budaya dan
agama yang ada menjadi tunduk kepada satu payung hukum kerajaan Sriwijaya.
Keragaman
yang dimiliki bangsa Indonesia ini merupakan kekayan dan harta pusaka
peninggalan nenek moyang kita dulu yang jarang dimiliki oleh bangsa lain. Ini
merupakan aset bangsa yang sangat berharga. Namun menciptakan kerukunan didalam
sebuah perbedaan memang bukan hal yang mudah. Perbedaan yang ada dapat menjadi
sumber konflik dan perpecahan didalam masyarakat apalagi bila perbedaan yang
ada itu sangat kentara, dengan kata lain dua etnis dengan budaya yang sangat
bertolak belakang namun harus hidup berdampingan.
Pulau
Bangka di provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah salah satu daerah di
Indonesia yang dihuni oleh masyarakat yang majemuk karena terdiri atas banyak
suku bangsa seperti Melayu, Tionghoa, Jawa, Palembang, Bugis, Buton dan Arab.
Namun walaupun demikian budaya paling terasa adalah kebudayaan Melayu dan
Tionghoa karena orang-orang pendatang yang beragama Islam akan membaur dan masuk
lingkup Melayu. hal ini menjadi unik dimana biasanya suatu daerah hanya akan di
dominasi oleh satu kebudayaan saja yang biasanya di pegang oleh suku atau etnis
mayoritas.Namun untuk kasus Bangka terdapat pengecualian dimana ada dua suku
bangsa yang sama-sama mendominasi.
Keharmonisan
antara suku Melayu dan etnis Tionghoa di Bangka bahkan telah menghasilkan sebuah
ungkapan yang menggambarkan kerukunan kedua bangsa ini, ungkapan tersebut
berbunyi “Thongin Fangin Tjitjong”
yang bermakna “Tionghoa ataupun Melayu, sama saja”. Ungkapan ini menggambarkan
dengan jelas bagaimana rukunnya hubungan kedua etnis inidi Bangka. ada banyak
faktor yang menjadi faktor pendorong terciptanya keharmonisan ini, biasanya
berawal dari kepentingan masing-masing etnis seperti kepentingan ekonomi,
politik, sosial dan budaya hingga perjalanan sejarah yang dialami bersama.
Berdasarkan
hal tersebut kemudian membuat penulis merasa tertarik untuk membuat tulisan
mengenai Bagaimana
jalannya sejarahdan wujud ungkapan Thongin Fangin Tjitjong di dalam tingkatan
asimilasikehidupan masyarakat di pulau
Bangka provinsi Kepulauan Bangka Belitung?. Tujuan
dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk
awal interaksi antara suku Melayu dengan etnis Tionghoa di Bangka dan bagaimana
bentuk wujud asimilasi dan akulturasi yang terjadi hingga memunculkan ungkapan Thongin Fangin Tjitjong yang merupakan
wujud kearifan lokal dari pulau Bangka bagi Penguatan Multikulturalisme
Indonesia.
Manfaat
yang diharapkan dari penulisan karya tulis ilmiah iniadalah menjadikan Bangka sebagai
wilayah bahan perbandingan dan daerah percontohan yang dapat dipakai oleh
pemerintah dalam upaya mensosialisasikan upaya revitalisasi kearifan lokal bagi
penguatan multikulturalisme Indonesia
2.
Metodologi
Penulisan
Dalam karya tulis ilmiah yang berjudul ‘‘Thongin
Fangin Tjitjong Ungkapan Pemersatu Masyarakat di Pulau Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”, metode penulisan yang digunakan adalah
metode sejarah atau
metode Historis. Metode penelitian Historis adalah sebuah metode penelitian dan penulisan sejarah
dengan menggunakan cara, prosedur atau tekhnik yang sistematik sesuai dengan asas-asas
dan aturan ilmu sejarah (Daliman, 2012: 27).
Penulisan
sejarah dimulai dengan sebuah teknik yang disebut heuristik dimana pada tahap awal ini
penulis berusaha mengumpulkan data-data berupa buku-buku dan sumber-sumber
lainnya yang berhubungan dengan masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan
karya ilmiah ini.Setelah selesai
dilaksanakannya langkah pengumpulan sumber-sumber sejarah dalam bentuk
dokumen-dokumen, maka yang harus dilaksanakan berikutnya adalah mengadakan
kritik (verifikasi) sumber, terutama terhadap sumber-sumber yang pertama,
langkah ini disebut sebagai kritik sumber baik terhadap materi sumber maupun
terhadap substansi sumber (Sair dan Dedi, 2014: 55; Daliman, 2012: 51,64-65).
Setelah
melakukan pengumpulan dan kritik pada data sejarah maka langkah selanjutnya
adalah masuk kepada tahap auffasung
atau tahap eksplanasi dalam sejarah. Pada tahap ini memaknai semua fakta-fakta
dan data-data yang telah dipilih dan dianggap layak untuk kemudian di
sintesiskan atau di padukan hingga mendapatkan sebuah kesimpulan sejarah.
Setelah didapati sebuah kesimpulan pada tahap akhir kemudian penulis memasuki
tahap akhir penulisan yakni, darstellung
atau tahap penyajian hasil penulisan kedalam bentuk sebuah tulisan ilmiah (Sair dan Dedi, 2014: 89)
3.
Pembahasan
Nama
Bangka telah lama dikenali para pelaut. Berita tertua mengenai Bangka telah ada
sebelum masa Sriwijaya yang didapatkan dari India, yakni dari sebuah karya
sastra Buddha yang ditulis pada adab ke-3 masehi yakni Mahaniddesa. Kitab tersebut menyebutkan nama-nama tempat di Asia,
antara lain Swarnabhumi yang
diidentifikasikan sebagai Sumatera yang juga disebutkan dalam kitab Milindapanca, yang kedua adalah Jawa,
dan yang ketiga adalah Wangka yang
diidentifikasikan sebagai Bangka(Damais dalam Prajodko dan Bambang, 2013: 153;
Sujitno, 2011: 31-32).
Secara geografis Bangka merupakan gugusan kepulauan di
sebelah selatan kepulauan Riau dan disebelah pesisir timur Sumatera bagian
selatan dengan letak geografis 1
30’ - 3
7’ lintang
selatan dan 105
45’ - 108
18’ bujur timur. Luas wilayah Bangka
11.703,65
. Posisi
geografis Bangka terletak dibagian barat kepulauan Indonesia, dengan perairan
yang telah sejak lama mempunyai frequensi pelayaran yang sangat tinggi. Meskipun terletak di daerah yang strategis
namun pulau Bangka tidak dianggap sebagai daerah yang penting bahkan menjadi
tempat persembunyian bajak laut atau dalam bahasa Melayu disebut sebagai Lanon
karena geografis muka pantai yang berkelok membentuk banyak tanjung dan teluk. (Heidhues, 2008:1; Obedeyn dalam Sujitno, 2011:21).






Penduduk Bangka yang beragam mulai terbentuk
setelah dimulainya penambangan timah pada tahun 1710. Sejak penambangan timah
menjadi marak seketika itu pula pulau Bangka menjadi ramai dikunjungi oleh
berbagai bangsa, terutama sejak Sultan Mahmud Badaruddin I menempatkan keluarga
mertua dari istrinya yang bernama Zamnah yang bergelar Melayu Yang Mariam dan gelar
Palembang Mas Ayu Ratu Zamnah yang merupakan bangsawan Johor dari pulau Siantan
Riau ke kota Muntok yang diikuti oleh orang-orang dari Johor dan Siantan untuk
menambang dan menetap di Bangka (Balai Arkeologi Palembang, 2016; Hikmat, 2002:
30;Novita, 2008; Sari, 2014; Heidhues, 2008:87)
kelompok migrasi ini diketuai Dato’ Akub yang
merupakan paman dari Zamnah diikuti oleh sekitar 500an orang dari Siantan yang
kemudian menyebar ke seluruh penjuru pulau terutama diwilayah konsentrasi timah.
Hal ini berdasarkan laporan VOC ke Batavia dalam VOC 2315 tertanggal 31 Oktober
dan VOC 22345 tertanggal 1 Desember yang berbunyi:
“in
September 1734 he announced that because of his love for Mas Ayu he was sending
a fleet of ships back to Siantan to bring to Palembang more than thousand of
her relatives, good friends, and servantas. Five hundreds were settled in the
Mentok area of Bangka, with spesifics aim of increasing tin deliveries by
stabling close links producers and buyers.”
Orang-orang inilah yang kemudian berkembang
menjadi orang Bangka dan mengembangkan kebudayaan Melayu di pulau Bangka (Sujitno,
2011:101: Hanafiah, 2009 ).
Dalam
waktu hampir bersamaan pada waktu itu juga dimulailah migrasi orang-orang
Tionghoa dan Siam yang awalnya dipekerjakan sebagai penambang di daerah-daerah
konsentrasi timah diseluruh penjuru pulau untuk meningkatkan hasil produksi
timah. Mereka didatangkan lansung dari Tiongkok Selatan, Semenanjung Melayu dan
Thailand Selatan karena dianggap telah piawai dalam proses penambangan dan
pengelolaan biji timah di daerah asalnya. Sejak migrasi yang dimulai sejak masa
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I migrasi orang-orang Tionghoa terus
berlanjut bahkan pada masa pendudukan Inggris di pulau Bangka jumlah orang
Tionghoa Bangka semangkin banyak di beberapa kota sampai ada yang mendominasi
dalam jumlah populasi dengan profesi yang beragam terutama pada sektor
perdagangan dan pertambangan (Erman, 1995: ;Hikmat,
2002: 32; Troki, 2004;
Machmud, 1986:73)
Interaksi
yang membuat antara Melayu dan Tionghoa hidup rukun dimulai dari kebiasaan
orang-orang Melayu mengangkat anak perempuan Tionghoa menjadi anak. Hal ini
pertama terjadi karena kepercayaan orang Tionghoa yang menganggap bahwa
melahirkan anak perempuan dianggap tidak membawa keuntungan anak perempuan
dianggap tidak berguna karena tidak bisa diajak bekerja keras nantinya.
Sehingga banyak anak perempuan yang di telantarkan. Melihat hal ini kemudian
memicu timbulnya simpati dari etnis Melayu yang kemudian berinisiatif untuk
menjadi anak perempuan menjadi anak angkat. Anak ini akan tinggal bersama
keluarga Melayunya dan pindah keyakinan ke agama Islam atau dikenal dengan
istilah “masuk Melayu”. Hal ini yang
membuat banyak dari orang Melayu Bangka memiliki darah Tionghoa, hingga pada
saat ini di Bangka akan sering tampak orang Melayu nampak seperti orang
Tionghoa, sedangkan orang Tionghoa nampak berwajah Melayu (Evawarni, 2009: 19; Hikmat, 2002: 198;wawanara
dengan Achmad Bamban bin Bamban; wawanara dengan pak Amri)
Bukti
bahwa banyak orang Melayu yang mengangkat anak perempuan Tionghoa menjadi anak
termuat dalam kutipan berikut surat kabar terbitan Belanda, Indishe Gids:
“Sering (kuli Tionghoa) menjual (anak
perempuannya) saat masih kecil kepada orang Eropa atau orang Bangka. Seorang
bayi yang baru lahir dapat dijual dengan harga lima gulden atau seorang anak
perempuan berumur tiga tahun dijual dengan arga f150...(dalam hal ini) anak
perempuannya...menjadi sama dengan pribumi.”
Pengadopsian
anak ini umumnya terjadi di keluarga Tionghoa yang miskin, orang-orang Tiongoa
yang kaya biasanya akan melindungi anak dan istrinya. Sedangkan orang Melayu
yang mapan meskipun telah memiliki anak, mereka tidak sungkan untuk mengangkat
anak dari etnis Tionghoa. Sehingga dapat dikatakan bahwa anak perempuan adalah
pembentuk ikatan antara Melayu dan Tionghoa ( wawancara dengan pak Amri;
Heidhues, 2008: 156-158).
Proses penting
selanjutnya dalam interaksi antara Melayu dan Tionghoa di Bangka adalah adanya
asimilasi yang terjadi dari dua kebudayaan ini. setidaknya ada lima tingkatan
asimilasi yang terjadi, yakni asimilasi kultural, asimilasi struktural,
asimilasi perkawinan, asimilasi identifikasi, dan asimilasi perilaku tanpa
prasangka. Hasil dari proses asimilasi ini masih dapat dirasakan hingga
sekarang.
Asimilasi
kultural dapat dilihat dari perubahan penggunaan bahasa, nilai-nilai, pakaian
dan makanan. Pada penggunaan bahasa, Bahasa kedua etnis ini pun saling
mempengaruhi. Bahasa melayu Bangka yang merupakan turunan bahasa Melayu Riau
namun telah tercampur dengan banyak bahasa sehingga memiliki dialek tersendiri
juga banyak mengadopsi kosakata Tionghoa, sedangkan bahasa Tionghoa telah
banyak dipengaruhi bahasa Melayu. Pengaruh kosakata Tionghoa pada bahasa melayu
di Bangka banyak ditemukan pada istilah-istilah penambangan dan perdagangan.
Pada bidang kuliner juga mengalami asimilasi, salah satunya adalah kue Hak lo
Pan atau yang di luar disebut dengan Martabak Bangka atau kue Terang Bulan, ada
juga Mie Ayam yang awlanya menggunakan daging babi, namun karena menyesuaikan
dengan etnis Melayu maka di pakailah daging ayam. Pada bagian nilai-nilai lebih
kepada peraturan untuk kenyamanan kedua etnis, terutama pada saat perayaan hari
besar keagamaan dan budaya salah satu etnis(Idi, 2009 :72-73; Heidhues, 2008:
225; Kurniawan dkk, 2013; Sujitno, 2007: 208-209; Kurniati dan Zalfika, 2012:
2-3).
Bentuk
asimilasi yang kedua adalah asimilasi struktural asimilasi ini dimulai dengan masuknya
sub etnik dalam hal ini etnik yang lebih minoritas yakni etnis Tionghoa kedalam
struktur sosial ekonomi etnis Melayu tanpa menghilangkan jati diri sebagai
seorang Tionghoa. Saat ini banyak politisi di Bangka yang merupakan seorang
Tionghoa, setidaknya ada dua dari tujuh kabupaten/kota di provinsi Kepulauan
Bangka Belitung yang dipimpin oleh seorang Tionghoa, yakni kabupaten Bangka
Barat dan kabupaten Belitung Timur. Pada bidang ekonomi etnis Tionghoa pada
saat ini mayoritas bekerja sebagai pedangang dengan membangun ruko-ruko
pertokoan di kota-kota di pulau Bangka. umumnya dimiliki oleh pedagang Tionghoa
dengan bangunan modern namun tetap menggunakan aksen Tionghoa. Yang paling
menonjol adalah biasanya akan selalu ada altar peribadatan di sudut ruangan,
orang Melayu sudah biasa dengan hal itu dan tetap tampak nyaman saat melakukan
transaksi jual beli (Trocki, 2004; Idi, 2009: 109-113).
Peralihan
dari penambang menjadi pedagang ini dimulai pada masa pendudukan Inggris di
Bangka, dimana Raffles ingin menjadikan Bangka sebagai pusat seluruh
kegiatannya untuk Timur Jauh, mulai dari perekonomian hingga basis pertahanan.
Untuk membangun perekonomian kemudian Inggris mulai mendatangkan orang-orang
Tionghoa dengan beragam profesi, dan mayoritas yang didatangkan adalah para
pedagang yang awalnya di tempatkan di kota Muntok sebagai ibukota Keresidenan
Bangka di bawah Inggris. Pada bagian sosial-kemasyarakatan asimilasi antara
Melayu dan Tionghoa dapat dilihat dari partisipasi kedua etnis pada saat
kegiatan sosial-kemayarakatan. Di Bangka adalah hal yang sangat lumrah apabila
melihat persahabatan antara seorang dari etnis Melayu dengan orang Tionghoa
tanpa lagi membahas SARA, hal ini juga bisa dilihat pada saat perayaan hari
besar masing-masing agama, bukan hal yang asing apabila kedua etnis ini akan
saling mengunjungi. Di kota Muntok terdapat Masjid dan Kelenteng yang
bersebelahan sejak abad ke 19 yakni masjid Jami’ Muntok dan klenteng Kung Fuk
Miaw, dan pada saat proses renovasi masjid pada tahun 1873 masa pemerintahan
Tumenggung Kertanegara II orang Tionghoa bahkan turut membantu proses renovasi
(Sujitno, 2011: 188;Kurniawan, 2013: 266; wawancara dengan pak Amri).
Asimilasi
yang ketiga yang terjadi antara etnis Melayu dan Tionghoa di Bangka adalag
asimilasi pernikahan (Marital
Assimilation). Berdasarkan deskripsi van den Boogard yang mengunjungi
Bangka pada tahun 1803, mengatakan bahwa bentuk awal interaksi antara orang
Melayu dan etnis Tiongoa di Bangka terjadi langsung dilokasi pertambangan
timah, dimana para lelaki Melayu ikut terlibat didalam proses menambang
sedangkan kaum perempuan berjualan alat-alat perlengkapan dan makanan untuk
para penambang (Idi, 2009: 130-136; Erwiza, 2009: 105)
Laporan
yang hampir sama juga datang dari
Horsfield yang datang ke Bangka pada tahun 1813, ia mendeskripsikan bahwa orang
Melayu memakai pakaian Melayu, berbahasa Melayu dengan pekerjaan kebanyakan
adalah berladang sedangkan orang Tionghoa masih memakai pakian tradisionalnya.
Dari sini kemudian dimulailah pernikahan silang antara lelaki Tionghoa dan
perempuan melayu, karena pada waktu itu para kuli tambang Tionghoa tidak
membawa serta isterinya, bahkan tidak ada satu pun perempuan yang ikut berlayar
ke Bangka. Dari pernikahan-pernikahan ini kemudian lahirlah anak-anak yang
berdarah campuran. Bentuk asimilasi pada pernikahan ini juga dapat dilihat dari
bentuk baju pengantin Bangka yang berwarna Merah (warna Tionghoa) dan Ungu
(warna Bangsawan Melayu), baju pengantin ini juga mendapat pngaruh Arab
terutama pada baju pengantin pria (Heidhues, 2008: 87-88; Hikmat, 2002:32)
Lebih
jauh lagi pada masa era bangsawan Melayu Johor di Muntok, Zamnah atau yang di
Palembang disebut dengan Masayu Ratu Zamnah atau dalam kronik Siak disebut Yang
Mariam yang merupakan istri Sultan Mahmud Badaruddin I adalah cucu dari seorang
Tionghoa bernama Lim Tauw Kian yang kemudian menjadi mualaf atau dalam adat
disebut “masuk Melayu” dan menikahi putri Melayu dan berganti nama
menjadi Encik wan Abdul Hayat (Hikmat, 2002: 29-30; Sujitno, 2011: 142; Mahmud, 1986: 57).
Pernikahan
campur merupakan hal yang lumrah di Bangka, pada masa kesultanan Palembang, di
Bangka bahkan dibuat suatu peraturan khusus mengenai pernikahan campur dan
Undang-undang Hukum Adat Tanah Bangka pada pasal kesembilan yakni:
“Sembilan perkara:
Jikalau ada seorang Cina hendak mempergundik perempuan Bangka (Melayu), maka
orang Cina itu harus bayar 10 ringgit tiap tahunnya kepada kepalanya.”
Pada
masa sekarang pernikahan campuran ini bukan merupakan hal yang aneh lagi bahkan
bisa dikatakan sebagai hal yang biasa, jumlah pernikahan silang antara etnis
Melayu dan Tionghoa di Bangka cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari catatan
Kantor Urusan Agama kota Sungailiat yang mencatat pada periode 1997-2004 telah
terjadi pernikahan campuran antara etnis Melayu dan Tionghoa sebanyak 169
pasangan. Pernikahan silang biasanya menggunakan prosesi adat Melayu, hal ini
dikarenakan biasanya seorang Tionghoa akan menjadi mualla sebelum menikah
dengan pasangan Melayunya (Idi, 2009: 130-136;Amin, 2001:17; wawanara dengan
pak Amri ketua MHC).
Bentuk
asimilasi keempat yang terjadi antara etnis Melayu dan Tionghoa di Bangka
adalah asimilasi identifikasi yang berasal dari rasa kebangsaan dan cinta akan
daerah. Di bangka kita akan sangat jarang mendengar seseorang menyebut dirinya
sebagai orang Melayu atau orang Cina, meskipun memang benar mereka berasal dari
suku dan etnis tersebut. Sebagai gantinya mereka akan menyebut dirinya sebagai
orang Bangka karena menganggap pulau Bangka sebagai tempat asalnya meskipun
leluhurnya berasal dari luar. Wujud nyata dari bentuk asimilasi identifikasi
seorang Tionghoa dapat dilihat pada saat orang ritual sembahyang kubur yang
dilakukan di pemakaman Sentosa kota Pangkalpinang, pada saat akan menjalankan
ritual ini maka seluruh orang Tionghoa Bangka akan pulang ke Bangka meskipun ia
berada jauh dari Bangka, ada yang pulang dari kota-kota di Indonesia bahkan ada
yang sengaja menyempatkan diri untuk pulang ke Bangka padahal mereka telah
menetap di luar negeri dan menjadi warga negara tersebut (idi, 2009: 19-151;
Evawarni, 2009:42-43; wawanara dengan pak Amri).
Bentuk
asimilasi terakhir yang terjadi antara etnis Melayu dan Tionghoa di Bangka
adalah Asimilasi Perilaku tanpa Prasangka dapat dilihat dari penggunaan
panggilan dari satu etnis ke etnis yang lain tanpa ada rasa tersinggung
sedikitpun dari etnis yang di tuju, di Bangka orang Melayu biasa menyebut orang
Tionghoa dengan sebutan “Orang Cen”
sedangkan orang Tionghoa memakai kata “Fangin”
untuk menyebut orang Melayu walaupun sudah jarang di pakai. Penggunaan kedua
kata ini tidak ada sedikit pun maksud untuk merendakan salah satunya, hanya
panggilan belaka, dan tidak mendapatkan sambutan negatif dari yang mendapatkan
nama (idi, 2009: 161; Hikmat,
2002: 95).
Ragam
wujud asimilasi yang berlaku menunjukan bahwa masyarakat Melayu Bangka memiliki
struktur sosial masyarakat Melayu terbuka yang menerima semua hal-hal yang baru
selama itu tidak mengusik bahkan merusak nilai-nilai adat istiadat marwah
Melayu yang bernafaskan Islam. Sehingga budaya lain dapat tumbuh bahkah berkembang karena masih banyak
ritual asli Tionghoa yang tetap dilakukan hingga sekaranghidup berdampingan dan
kebudayaan Melayu tetap kekal walaupun sedikit saling mempengaruhi. Semangat orang
Melayu Bangka dalam mempertahankan kebudayaan Melayu ini sesuai sebagaimana
ungkapan yang pernah diikrarkan oleh Laksamana Hang Tuah yang sangat terkenal,
yaitu :“ Tuah sakti hamba negeri, Esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang
berganti, takkan Melayu hilang di bumi.” (Elvian, 2008: 12; Fahrozi, 2015).
Ragam
bentuk asimilasi dan sifat keterbukaan inilah yang kemudian melahirkan ungkapan
Thongin Fangin Tjitjong sebagai ungkapan bentuk persatuan masyarakat Bangka
yang multikultural. Bersatunya etnis-etnis yang ada dengan tanpa memandang
perbedaan sebagai penghalang ataupun merasa menjadi superior atas yang lainnya
telah menjadikan Bangka sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi etnis-etnis
yang bermukim disana. Perpaduan dari berbagai kebudayaan yang mewarnai kehidupan
sehari-hari membuat masyarakat Bangka memiliki sifat terbuka terhadap berbagai
macam budaya yang datang dan menjadi terampil dalam memilah dan mengolahnya
menjadi sebuah kesatuan yang merupakan kekuatan. Hal ini sesuai dengan salah
satu cita-cita luhur bangsa Indonesia yang termuat di dalam Pancasila pada
butir sila ke tiga Pancasila “Persatuan Indonesia”.
4.
Penutup
Kesimpulan
Keberagaman
etnis yang menghuni pulau Bangka dimulai ketika penambangan timah dalam skala
besar mulai marak dilakukan pada era kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I.
Sejak saat itu berbondong-bondonglah beragam etnis datang dan bermukim hidup
berdampingan serta melakukan interaksi antara satu dengan yang lainnya.
Interaksi antar etnis ini melahirkan sebuah ungkapan dalam bahasa Tinghoa
berbunyi “thongin fangin tjitjong”
yang bermakna antara Tionghoa dan Melayu adalah sama tidak ada yang superior
dan tidak ada yang berada pada level yang lebih rendah. Ungkapan ini lahir dari
hasil interaksi panjang selama ratusan tahun setelah terjadinya proses
akulturasi di berbagai bidang sehingga antar etnis dapat saling menerima etnis
yang lain. Hal ini membuat terciptanya keharmonisan di hampir setiap sendi
kehidupan masyarakat Bangka yang multietnis dan multikultur.
Ungkapan
ini juga secara langsung menunjukan bahwa masyarakat Bangka adalah masyarakat
yang tak hanya terbuka yang menerima perbedaan
dan hal-hal yang baru namun juga pandai mengolah hal tersebut dengan
merangkumnya menjadi sebuah kesatuan yang merupakan kekuatan bangsa. Menjadikan
perbedaan sebagai sebuah kekuatan modal kemajuan daerah bukan sebagai sumber
perpecahan yang membawa pada keterpurukan sesuai dengan cita-cita luhur bangsa
Indonesia yang tertuang pada sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”.
Rekomendasi
Mengingat
bahwa persatuan dalam keberagaman adalah kekuatan dan aset bangsa, maka penulis
merekomendasikan tulisan ini untuk dapat dibahas lebih lanjut pada sebuah
seminar. Hal ini dikarenakan masih banyak daerah di Indonesia yang akhir—akhir
ini menjadi sorotan berita nasional karena bentrokan antar etnis yang mendiami daerah
tersebut, daerah-daerah tersebut gagal mewujudkan sila ketiga Pancasila yakni “Persatuan
Indonesia”. Namun pulau Bangka di proinsi Kepulauan Bangka Belitungtampil
menjadi salah satu daerah yang berhasil mengikat keberagaman menjadi sebuah
kekuatan dengan tanpa menghilangkan jati diri beragam etnis yang bermukim
disana. Ungkapan “Thongin Fangin Tjitjong” merupakan bentuk kejeniusan lokal
masyarakat Bangka dalam menghadapi perbedaan dan sebagai bentuk pertahan dari kemungkinan
akan terjadinya gesekan antar etnis yang ada. Dengan membahas kearifan lokal
dalam bentuk ungkapan tradisional ini pada forum yang lebih besar di harapkan
bisa memberikan contoh peranan kearifan lokal bagi pengelolaan kemajemukan
dalam upaya penguatan multikulturalisme di Indonesia.
Daftar Pustaka
Amin,
Ali. Dkk. 2001. Kompilasi Adat Istiadat
Kota Pangkalpinang. Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.
Balai
Arkeologi Palembang.,
2016. Arkeologi Perkotaan di Kota Muntok.
Laporan hasil penelitian. Palembang:
Balai Arkeologi Palembang.
Daliman. 2012. MetodePenelitianSejarah. Yogyakarta:
PenerbitOmbak.
Elvian,
Ahmad, 2008. Tarian Pinang Sebelas Kota
Pangkalpinang, Suatu Tinjauan Makna Simbolis. Pangkalpinang: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang.
Erman,
Erwiza. 1995. Kesenjangan Buruh-Majikan
“Pengusaha, Koeli, dan Penguasa: Industri Timah Belitung”. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Erman
Erwiza. 2009. Dari Pembentukan Kampung ke
Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Evawarni. 2009. Kerukunan Antar Suku Bangsa di Kota Pangkalpinang. Tanjungpinang: Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Tanjungpinang
Fahrozi, Muhamad Nofri. 2015. Penelitian Komunitas Etnis Tionghoa di
Bangka Bagian I. Laporan Hasil
Penelitian. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.
Hanafiah, Djohan. 2009. Mentok Kota Khusus/Khusus Kesultanan Palembang Darusallam. Latar
Belakang Sejarah Berdirinya Kota Mentok. Diseminarkan pada Seminar Hari
Jadi Kota Muntok. Muntok Kepulauan Bangka Belitung, Tanggal 13 Agustus 2009.
Heidhues, Mary F. Somers. 2008. Timah Bangka dan Lada Muntok. Jakarta:
Yayasan Nabil
Hikmat, Ishak. 2002. Kepulauan Bangka Belitung, Semangat dan
Pesona Provinsi Timah dan Lada. Jakarta: Bali Intermedia
Idi, Abdullah. 2009. Asimilasi Cina-Melayu di Bangka.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Kurniati dan Zalfika Ammya. 20112. Mengenal Sastra Melayu Bangka.
Pangkalpinang: Bangka Publishing.
Machmud, Muhammad Arifin. 1986. Pulau Bangka dan Budayanya Jilid I.
Pangkalpinang: Tidak diterbitkan
Pradjoko, Didi dan Bambang Budi Utomo. 2013. Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Sair, Alian dan Dedi Irwanto. 2014. Metodologi dan Histriografi Sejarah.
Yogyakarta: Penerbit Ombak
Sari., F., 2014. Sistem Kekerabatan Sosial Masyarakat dalam Penggunaan Gelar
Kebangsawanan “Yang” dan “Abang” di Kota Muntok Kepulauan Bangka (1734-1816).J. Criksetra, 4: 120-139
Sujitno, Sutedjo. 2007. Sejarah Penambangan Timah di Indonesia, Abad ke 18- Abad ke 20.
Jakarta: Ibalat Communication.
Sujitno,
Sutedjo. 2011. Legenda dalam Sejarah
Bangka. Jakarta: Mediastar Printing.
Trocki, Carl A., 2004. Chinese Capitalism and the British Empire. Disajikan dalam the International Association of Historians
of Asia, 6-10 Desember 2004, Taipei, Taiwan.
0 comments:
Post a comment