Sekutu dan Kedatangannya di Indonesia
"Mengulas Singkat Persoalan Sekutu dan Indonesia Tempo Doeloe"
Oleh: Kms. Gerby Novario
Pembahasan mengenai kedatangan sekutu di Indonesia, memang menjadi salah satu hal yang menarik untuk dibahas. Akan tetapi dari sekian banyak sejarahnya, ada beberapa point penting yang menjadi sebuah "inti sejarah" dari peristiwa kedatangan sekutu di Indonesia, apa itu? Berikut kami rangkum beberapa pertanyaan menarik seputar sejarah kedatangan Sekutu di Indonesia. Semoga anda menjadi lebih paham
Mengapa
Inggris memberikan kesempatan kepada Belanda dari kelompok sipil atau NICA dan
bukan kepada golongan militer?
Jawab.
Van Mook
dan pimpinan Belanda lain selalu menyatakan kepada pimpinan militer Inggris,
bahwa pengambil-alihan Indonesia tidak memerlukan kekuatan militer. Karena
percaya akan keterangan van Mook tersebut, maka Mountbatten mengirim salah satu
stafnya, Mayor Jenderal A.W.S. Mallaby, yang adalah seorang perwira
administrasi, yang belum pernah memimpin pasukan tempur. Untuk dapat memimpin
satu Brigade tempur, ia rela pangkatnya turun menjadi Brigadir Jenderal. Adalah
suatu kebanggaan bagi seorang perwira, apabila dapat menjadi komandan pasukan
tempur.
Berdasarkan
Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda
mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil
Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil
Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland
Indies Civil Administration-pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin
oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas
dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau
konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara
dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu
Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran
yang di antara anggotanya adalah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah
pimpinan Ratu Belanda.
Menurut
persetujuan “Civil Affairs Agreement” antara pemerintah Inggris dan Belanda
yang boleh mendarat hanya tentara Inggris, tetapi kepada tentara itu dapat
diperbantukan pegawai-pegawai sipil Belanda sebagai pegawai “Netherlands Indies
Civil Affairs” (MCA). Dengan kedok NICA inilah Belanda berhasil memasukkan
orang-orangnya, tidak hanya pegawai sipil bahkan juga militernya. Selain itu,
juga dapat menyelundupkan orang-orangnya, baik sipil maupun militer dalam
rombongan-rombongan tenaga Inggris yang ditugaskan mengurus para tahanan perang
dan inteniran.
Bagaimana
CAA dalam kaitan politik Inggris dan Belanda.
Jawab.
Garis-garis
politik sekutu sesuai dengan Civil Affairs Agreement ini menuju kepada maklumat
politik Belanda dalam bulan Nopember, yang pelaksanaan bagian militernya
dirundingkan di Singapura pada awal Desember 1945.
Inggris
melihat upaya dalam Civil Affairs Agreement ini seperti perluasan persemakmuran
raya, seperti halnya Malaysia dan Singapura yang menjadi bagian dari Keratuan
Inggris Raya. Bagian ini bisa menjadi kesempatan untuk menjadikan Hindia
Belanda bagian dari itu, tetapi dengan versi lain yaitu Belanda yang menempati
Hindia Belanda dengan memberikan banyak konsesi kepada Inggris yang telah
mengantarkan Belanda kembali mengambi jajahannya.
Bagaimana
Perjanjian Postdam dalam kaitannya kedatangan tentara Sekutu.
Jawab.
Perjanjian
Potsdam yang berlangsung dari tanggal 17 Juli – 2 Agustus 1945, dilaksanakan
untuk mengalahkan Jepang tanpa syarat. Oleh karena itu dikeluarkanlah ultimatum
Potsdam yang orientasinya lebih menegaskan bahwa setelah Jepang menyerah,
negara-negara sekutu akan memperoleh kembali negara jajahannya. Dengan kata lain
seluruh negara di Asia Tenggara akan dikembalikan kepada negara pemiliknya
sesuai status quo sebelum Perang Dunia II.
Menyerahnya
Jepang kepada Sekutu 14 Agustus 1945 berarti Jepang harus melepaskan semua
daerah jajahannya/pendudukannya. Negara yang tergabung blok Sekutu akan
memeroleh daerah jajahannya yang dikuasai sebelum PD II, yakni Inggris atas
Malaya, Singapura dan Birma, Amerika atas Pilipina, Perancis atas Indocina
serta Belanda atas Hindia Belanda (Indonesia).
Sementara
itu jauh sebelum menyerahnya Jepang, pemerintah Belanda sejak April 1944 telah
mempersiapkan diri untuk kembali ke Hindia Belanda, hal ini dapat dilihat
dengan dilaksanakannya perundingan-perundingan dengan Belanda di satu pihak dan
Inggris sebagai wakil Sekutu di pihak lain. Perundingan ini mendapat
kesepakatan pada tanggal 24 Agustus 1945 dengan lahirnya Civil Affair Agreement
(CAA) yang menjadi landasan kerjasama antara Inggris dan Belanda.
Isi CAA menyangkut pengaturan penyerahan
Hindia Belanda dari pihak Inggris yang mewakili Sekutu kepada pemerintah
kerajaan Belanda.1) Olehnya itu sesuai
dengan ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian CAA, maka fase pertama
panglima tentara Sekutu akan menyelenggarakan operasi militer untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban.
Mengenai
hasil keputusan dalam konferensi Potsdam oleh Muh. Roem diperjelas sebagai
berikut:
“Bahwa pada saat terakhir perang di Asia, berlangsung suatu perubahan, hal mana semula seluruh Indonesia kecuali Sumatera, termasuk daerah yang akan diduduki tentara Amerika. Namun dalam konferensi Postdam wilayah itu dimasukkan daerah kekuasaan Inggris sebelum diserahkan kembali kepada kekuasaan yang berwenang yakni Belanda”.
Berdasarkam pernyataan tersebut nampak bahwa Inggris tidak hanya bertanggung jawab atas pendudukan kembali atas Sumatera, tetapi seluruh Indonesia yang semula di bawah naungan South West Pacific Areas Command (SWPAC) yang dipimpin Mac Arthur. Dengan demikian kedudukan Hindia Belanda berdasarkan keputusan dan ketetapan konferensi Potsdam, khususnya dalam pembagian wilayah, Hindia Belanda akan dikembalikan kepada penguasa semula, yakni Belanda.
Dalam
rangka merealisasikan amanat Potsdam, diberikanlah tugas kepada SEAC (South
East Asia Command yang dipimpin Lord Mountbatten. Selanjutnya untuk memudahkan
pengelolaannya, maka SEAC membentuk komando khusus yang disebut AFNEI (Alied
Forces Netherlands East Indies) dipimpin oleh Sir Philip Christison. Adapun
tugas AFNEI atau tujuan kedatangan Sekutu ke Indonesia dapat diperinci sebagai
berikut:
- Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang.
- Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu.
- Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan.
- Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil.
- Menghimpun keterangan dan mengadili penjahat perang.
H.J
Van Mook sebagai arsitek negara federal adalah memecah belah tetapi bukan
menjadi tujuan utama ada hal yang lebih penting, apa itu?
Jawab.
Van Mook
mengusulkan supaya pemerintah Belanda beralih kepada susunan kenegaraan Federal
di Indonesia. Pemikiran ini dikongkretkan pada tanggal 25 November 1945 dan
kemudian dipakai sebagai dasar di dalam pembicaraan selama Konferensi Malino
pada bulan Juli 1946. Dalam konferensi ini wakil – wakil Kalimantan dan
Indonesia Timur berkesimpulan bahwa dalam tertib ketatanegaraan Indonesia,
federalism harus menjadi dasar suatu kesatuan tata Negara yang meliputi seluruh
Indonesia: jadi bentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS) (Anak Agung Gde Agung,
1983:18).
Ide untuk
mendirikan sebuah Negara serikat di Indonesia yang diprakarsai oleh Van Mook,
berlatar belakang dari keberhasilan Amerika dalam mendirikan Negara serikat.
Cita–cita inilah yang dilakukan Van Mook di Indonesia dengan mendirikan Negara
boneka di beberapa daerah di Indonesia untuk dijadikan Negara bagian, serta
berusaha mempengaruhi pimpinan daerah – daerah tersebut dengan ide – ide
tentang pembentukan Negara federal di Indonesia dengan nama Negara Indonesia
Serikat.
Pada
tanggal 15 Juli 1946, Dr. H.J. van Mook memprakarsai penyelenggaraan konferensi
di Malino, Sulawesi Selatan. Konferensi ini dihadiri oleh beberapa utusan
daerah yang telah dikuasai Belanda. Konferensi Malino membahas pembentukan
Negara-negara bagian dari suatu Negara federal. Berawal dari konferensi tersebut,
Van Mook atas nama Negara Belanda mulai membentuk negara-negara boneka yang
tujuannya adalah untuk mengepung dan memperlemah keberadaan Republik Indonesia.
Dengan terbentuknya Negara-negara boneka, RI dan Negara-negara bagian akan
dengan mudah diadu domba oleh Belanda. Hal ini merupakan perwujudan dari
politik kolonial Belanda, yaitu Devide et Impera (Historia66's Blog, 1 Maret
2010).
Di dalam
masa peralihan sebelum lahirnya NIS, pemerintah Belanda hanya mau mengakui
Republik Indonesia sebagai sebuah Negara bagian, atas dasar persamaan derajat
dengan Negara – Negara bagian lainnya, yang kemudian akan menjadi bagian NIS
yang merdeka. Belanda juga menuntut, Republik harus mengembalikan semua
wewenang yang diambil secara sewenang – wenang, Republik harus memutuskan
hubungan – hubungan dengan luar negeri dan menghapuskan dinas diplomatiknya.
Tentara Nasional Indonesia pun harus dibubarkan, karena sebuah Negara bagian
tidak berhak punya tentara sendiri. Secara singkat pemerintah belanda menuntut
Republik Indonesia menanggalkan hak kedaulatannya yang dicapainya sejak
Proklamasi Republik pada tanggal 17 Agustus 1945, sedangkan Wakil Tinggi
Mahkota mendapat kekuasaan besar selama masa peralihan
0 comments:
Post a comment