Situs Gedingsuro: Sisa Candi Yang Bertahan
Situs Gedingsuro terletak di Kampung 1
Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, sebelah Timur Kota Palembang tepatnya di Jalan
Ratu Sinuhun, Lorong H. Umar (Tepat di ujung lorong). Wilayah ini dikenal
dengan Palembang Lamo (Kuta Gawang) karena wilayah merupakan pusat pemerintahan
Kesultanan Palembang sebelum pindah ke Beringin Janggut.
Situs Gedingsuro merupakan tanah darat
dengan ketinggian rata-rata sekitar 4 meter di atas permukaan laut. Dibagian
utara sedikit meninggi. Lokasi situs di bagian sebelah timur berbatasan dengan
tembok pagar PT Pupuk Sriwijaya, dan sebelah selatan berbatasan dengan
pemukiman penduduk dan sungai Musi.
Gambar. Lokasi Situs Gedingsuro Dari Foto Satelit
Gambar. Lokasi Situs Gedingsuro
Situs Gedingsuro untuk pertama kalinya diteliti pada tahun 1930 oleh
Luning dan Westenenk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Luning dan
Westenenk, pada tahun 1935 Schnitger mengadakan penelitian di situs Gedingsuro.
Schnitger melakukan eskavasi pada diantara Candi II dan Candi IV di Kompleks
Candi. Menurut Schnitger, bangunan yang ada di kompleks tersebut telah hancur.
Bagian yang masih tampak adalah pondasinya, ia juga berpendapat makam ini
merupakan kumpulan candi yang hanya tinggal pondasi dan di atasnya terdapat
makam Islam abad ke-16 Masehi.
Gambar. Kompleks Situs dan Makam Gedingsuro yang dikatakan
bagian Candi oleh Schnitger.
Pada saat Schnitger melakukan penggalian antara Candi II dan Candi IV ia
menemukan sebuah Arca Batu dengan ukuran tinggi 1,18 meter. Arca yang diduga
berasal dari sekitar abad ke 8-10 Masehi yang mewujudkan dewa dengan pakaian
kebesarannya.Schnitger juga menemukan bantaral Arca berbentuk teratai, Fragmen
Kepala Kala, dan hiasan bangunan.
Situs Gedingsuro terdapat 7 buah bangunan yang terbuat dari batu dan bata
putih. Berdasarkan gaya seninya bangunan-bangunan tersebut berasal diduga dari
sekitar abad ke 15-16 Masehi yaitu masa dimana pengaruh Majapahit berkembang di
Palembang.
Selain pada bangunan, pengaruh Majapahit tampak pada arca perunggu yang
ditemukan di runtuhan bangunan yang menggambarkan Siwa Mahadewa, Wisnu, dan
Brahma (Trimurti).
Tinggalan budaya bersifat Budhis juga ditemukan di sebuah dataran tinggi
sebelah utara Situs Gedingsuro, yaitu berupa arca Budha dan Bodhisattwa yang
terbuat dari perunggu berlapis emas, sisa bangunan bata (mungkin kompleks
Wihara) dan beberapa Stupika yang didalamnya berisikan tablet tanah liat
bertuliskan mantra Budha.
a. Arca Perunggu Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Siwa)
Gambar. Arca Trimurti
Arca
Brahma
Brahma
merupakan salah satu dewa penting dalam agama Hindu karena dianggap sebagai
dewa pencipta. Arca Brahma ini digambarkan dalam posisi berdiri di atas
kendaraan seekor Angsa dan juga digambarkan bermuka empat sebagai simbol
keempat Weda. Muka menghadap timur Reg Wea bertangan empat yang melukiskan
keempat arah mata angin. Tangan kiri belakang membawa kendi dan tangan kanan
belakang membawa tombak sakti. Menggunakan pakaian kebesaran dengan pehiasan
lengkap. Memakai mahkota berbentuk jamakuta dan memakai prabha atau sandaran.
Arca Wisnu
Wisnu merupakan salah satu dewa penting
dalam agama Hindu karena dianggap sebagai dewa pemelihara. Dalam usahanya untuk
menolong manusia dalam kesulitan, Wisnu sering menjelma turun ke dunia manusia,
antara lain sebagai Kresna dan Rama. Wisnu berkendara Burung Garuda. Penganut
agama Hindu yang memuja Wisnu disebut aliran Waishawa. Wisnu digambarkan
berdiri di atas pundak Garuda, bertangan empat, tangan kiri depan memegang
sesuatu yang tidak jelas, tangan kanan depan memegang wajra, tangan kiri
belakang memegang sangkha bersayap, tangan kanan belakang memegang cakra.
Arca Siwa
Siwa adalah salah satu dari tiga dewa
utama (Trimurti) dalam agama Hindu yang paling tinggi kedudukannya. Siwa
berperan sebagai dewa perusak. Aliran yang secara khusus memuja Siwa disebut
Saiwa. Arca Siwa ini berdiri diatas kendaraan berupa Nandi. Wajah Nandi sangat
menyeramkan, bertaring, melotot dengan lidah menjulur keluar. Siwa digambarkan
memiliki empat tangan, kedua tangan depan diletakan di depan dada. Tangan kiri
belakang memegang busur yang telah patah, tangan kanan belakang memegang anak
panah. Mengenakan jawakuta (hiasan rambut), kalung, gelang tangan, gelang kaki
dan selendang yang diselempangkan di bahu kiri. Arca ini disimpan di Museum
Balaputeradewa Palembang.
b. Fragmen Arca Awalokiteswara
Fragmen Arca
Awalokiteswara yang ditemukan baik di lingkungan situs Gedingsuro maupun
sekitarnya ini ada tiga, semuanya dalam keadaan tidak utuh, hilang bagian
kepala, tangan dan kaki. Ciri-ciri yang menandakan bahwa pecahan arca tersebut
Awalokiteswara adalah jubah yang dikenakan, merupakan ciri-ciri arca langgam
Syailendra yang digunakan pada masa Sriwijaya di Palembang pada abad ke-9
Masehi. Tinggalan ini disimpan
di Museum Sriwijaya TWBKS.
Gambar. Fragmen Arca Awalokiteswara (Dok. Pribadi)
\
c. Arca Budha Bodhisattwa
Arca ini
ditemukan di Situs Gedingsuro dari hasil penggalian liar pada tahun 1990an.
Arca Budha Boddhisattwa merupakan penjelmaan Dhyani Budda di dunia untuk
mengajarkan dharma. Dilihat dari gaya seninya kedua arca ini berasal dari abad
ke-9 Masehi.
Gambar. Arca Budha Bodhisattwa
(Dok. Pribadi)
Sumber:
1. _____.1994. Situs-situs Masa Klasik di Kota Palembang. Palembang: Pemda Tingkat I Prov. Sumatera Selatan.
2. Utomo, Bambang Budi, dkk. 2012. Kota Palembang: Dari Wanua Sriwijaya Menuju Palembang Modern. Palembang: Pemerintah Kota Palembang.\
3 ._____. 2007. Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Di Sumatera Selatan. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.
4. Poesponegoro. M.D. dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
0 comments:
Post a comment