Abdus Shamad Al-Palimbani: Islam dan Intelektual
Ulama Tasawuf Intelektual;
Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani
Oleh: Arafah
Editor: GG
Gambar. Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani
Palembang sekitar awal
abad ke-16 telah berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Demak di Jawa,
seperti yang ditulis oleh seorang pelancong Portugis bernama Tome Pires dalam
catatannya yang terkenal yaitu Suma Oriental. Ini
mengidentifikasikan bahwa sudah ada otoritas bernuansa Islam di kota
ini. Kota Palembang pada akhir abad ke-16 telah menjadi enclave Islam
terpenting atau bahkan pusat Islam di begian selatan Pulau Emas (Sumatera-Pen).
1
Tetapi hubungan dengan dunia Islam telah terjadi sejak era 661-717 M dimana
berita-berita Arab menyebutkan bahwa ada dua surat dari Maharaja Sriwijaya
kepada dua khalifah di Timur Tengah, yaitu ditujukan kepada Khalifah Muawiyah
dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah. Tetapi Islamisasi baru
terjadi setelah Kerajaan Sriwijaya melemah pada sekitar abad ke-11 M dan sama
sekali runtuh pada abad ke-14 M. hal yang paling menarik ialah, ketika pada
tahun 617 M, I Tsing seorang pelancong asal Tiongkok yang singgah selama
beberapa tahun singgah di Ibukota Shih-Li-Fo-Tsih (Sriwijaya) untuk
memperdalam ilmu keagamaan Budha dan bahasa Sansekerta, pelancong Tiongkok ini
berlayar dengan kapal-kapal orang Tashih (Arab) dan orang Posse
(Persia). 2 Dengan
disandingkannya nama Tashih dan Posse kemungkinan besar
penyebaran suatu bidang keilmuan Islam yang khas Persia, yaitu Sufisme mungkin
bukan suatu hal yang asing lagi di masa awal Islam Palembang.
Nampaknya hubungan
tersebut membawa pengaruh pada beberapa abad selanjutnya terutama apabila
dilihat dari kemajuan Ilmu Tasawuf di Palembang. Pasalnya, sejak awal abad
ke-18 telah muncul Pemikir-Ulama Tasawuf yang tenar, bukan hanya lokal, tapi
juga internasional. Diantara yang paling besar ialah Syaikh Abdus Shamad
Al-Palimbani. Diperkirakan bahwa kelahiran Ulama besar

1 Lih. Abdullah, Taufik, Beberapa Aspek
Perkembangan Islam di Sumatera Selatan, Editor K.H.D.,
Gadjahmada,Sri Edi Swasono,
Penerbit Universitas Indonesia : UI Press, 1986. Hal. 53-66
2
Notosusanto, Nugroho, Marwati Djoened, Sejarah Nasional
Indonesia;Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam,
Jakarta : Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.
Hal.,45
Artikel-Artikel
Bebas
ini ialah pada 1704 M. 3
Nama aslinya adalah Syaikh Abdus Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi Al-Palimbani.
Karena ayahnya adalah menjabat sebagai kepala penjaga Istana Kuto Cerancangan
Kesultanan Palembang Darussalam, ia dididik di lingkungan keraton. 4
Semasa hidupnya Syaikh Abdus Shamad tidak hanya aktif dalam berdakwah tapi juga
menjadi pemikir dan penulis yang produktif. Kitabnya hingga saat ini masih
sering dibaca dan dikaji, seperti
Hidayatus
Shalikin, dan
Siyar Al-Shalikin.
Abdus Shamad sangat
dikenal luas di kalangan intelektual Islam karena keluasan ilmu tasawufnya. Dia
seorang ahli, terutama tentang Tasawuf Al-Ghazali, dan ia terkenal di Haramain
(Makkah dan Madinah) karena keahliannya yang luar biasa tentang Ihya’
Ulumuddin-nya Imam Al-Ghazali. 5
Sekalipun sebagai seorang ahli Tasawuf ia sangat berpegang teguh pada ortodoksi
Islam. Ia memadukan keselarasan antara syariat dan logika, sehingga ia mampu
mematahkan doktrin-doktrin Tasawuf Wujudiyah Mulhid (Tasawuf yang berisi
gagasan-gagasan mistisisme spekulatif). Dalam pendapat Wujudiyah Mulhid,
realitas Allah tidak eksis kecuali dalam wujud dari segala yang diciptakan.
Pemahaman Wujudiyah Mulhid adalah bentuk panteisme yang telah ditolak
ke-
Mu’tabarah-annya
(keabsahan) dalam Islam, dan lebih lumrah dikenal dengan sebutan Manunggal
Ing Kawula Gusti (Satu Wujud Allah-Makhluk). Dengan tegas pendapat seperti
itu ia sebut sebagai sebuah “kekufuran”.6
Al-Palimbani sangat menentang anggapan kaum Wujudiyah Mulhid yang
percaya bahwa Allah menjelma dalam wujud Kharij (eksternal) manusia dan
makhluk-makhluk lainnya. 7
Hal itu jelas berbeda dalam pandangan Al-Palimbani dimana ia yakin bahwa para
Sufi sejati adalah mereka yang keimanannya dan watak intelektualnya

3 Azra, Azyumardi, Jaringan
Ulama : Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII : melacak
akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, Bandung : Mizan, 1994. Hal.
243-251
4
Lih. Biografi Singkat Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani (Pengantar
Penerbit). Al-Palimbani, Syaikh Abdus Shamad, Hidayatus Shalikin :
Mengarungi Samudera Makrifat, Surabaya : Pustaka
Hikmah Perdana, 2013.
5Lih. Azyumardi Azra
: Kontroversi dan Oposisi Terhadap Wahdah Al-Wujud : Wacana Sufisme di
Daerah Indonesia
Melayu pada Abad ke-17 dan 18. Artikel. Awani, Gulam Reza, dkk., Islam,
Iran dan Peradaban, Jogjakarta : Rausyan Fikr, 2012. Hal. 539
6 Ibid.
7 Al-Palimbani,
Syaikh Abdus Shamad, Hidayatus Shalikin : Mengarungi Samudera Makrifat,
Surabaya : Pustaka
Hikmah Perdana, 2013. Hal. 9
Artikel-Artikel
Bebas
dipusatkan kepada keesaan Allah daripada
sekadar memikirkan imanesi-Nya, walaupun disaat bersamaan, pada tingkat
tertentu eksistensi Allah adalah Imanent.
Pemikiran Al-Palimbani,
sebagaimana disebutkan di atas, banyak dipengaruhi oleh seorang pemikir dan
Ulama Tasawuf asal Persia, yaitu Imam Al-Ghazali yang dikenal akan serangannya
pada bentuk-bentuk Tasawuf Filosofis yang melanggar ortodoksi. Al-Palimbani dalam
Muqaddimah (Pembukaan) Kitab
Hidayatus Shalikin-nya
menyatakan bahwa kitabnya itu adalah ikhtisar dari kitab Imam Al-Ghazali
Bidayatul Hidayah. Sebagai sebuah kitab yang mengkaji ilmu Tasawuf, Hidayatus
Shalikin, yang terdiri atas satu Muqaddimah, tujuh bab, dan satu Khatimah
(penutup), dimulai dengan Pasal Ilmu yang Manfaat dan dilanjutkan pada Pasal
Kelebihan Ilmu yang Manfaat. Ia mengutip pendapat Al-
Ghazali ; “Ketahui olehmu bahwasannya
jika maksudmu dalam menuntut ilmu hanya untuk berdebat, angkuh, lebih baik dari
orang lain, mencari muka, dan menumpuk haarta dunia niscaya engkau telah
meruntuhkan agamamu dan membinasakan diri sendiri.” 8
Untuk sebuah kitab yang ditujukan untuk mengkaji masalah Tasawuf yang sarat
akan makna Bathiniyyah (esoterik), Al-Palimbani memulai kitabnya dengan
kajian yang fundamental tentang hakikat ilmu dan tujuan baik dari ilmu.
Apabila sejauh ini
Tasawuf selalu diasosiasikan dengan tindakan yang bertentangan dengan ortodoksi
Islam, Hidayatus Shalikin sebagai kitab Tasawuf ditulis dengan
sistematika yang dimulai dengan hal-hal mendasar. Seperti dalam
Bab I : Aqidah yang
membahas hakikat Tauhid, Bab II : Ketaatan yang banyak membahas
masalah Thaharah (bersuci) dan Sholat, Bab III : Maksiat Dzahir /
Fisik, Bab IV : Maksiat Bathin, dan baru Bab V : Ketaatan Bathin.
Berarti sebelum mengkaji Bab V tentang ketaatan Bathin,
Al-Palimbani mengajak pembaca untuk melewati empat tahapan perkara fisik
(eksoterik) terlebih dahulu. Kitab Al-Palimbani lainnya seperti Siyar
Al-Shalikin hampir memiliki sistematika yang sama. Dalam bab pertama Siyar
Al-Shalikin ia mendiskusikan mengenai Iman dan Ibadah, bab kedua mengenai
akhlak, bagian ketiga mengenai kejahatan, dan bagian terakhir mengenai berapa
macam perbuatan baik yang menjauhkan

8 Al-Palimbani, Syaikh Abdus Shamad, Hidayatus Shalikin : Mengarungi
Samudera Makrifat,
Surabaya : Pustaka
Hikmah Perdana, 2013. Hal. 9
Artikel-Artikel
Bebas
pelakunya dari tindakan tercela. 9
Sejalan dengan sistematika penulisan kitab-kitabnya yang mengonsentrasikan
tahapan-tahapan gradual, Al-Palimbani juga memberikan kontribusi dalam mengklasifikasikan
teks-teks utama Tasawuf ke dalam tiga tingkatan pembelajaran, yaitu Mubtadi
(dasar), Mutawassit (tengah), dan Muntahi (tingkat lanjut /
tinggi). 10 Sekalipun dikenal
sebagai seorang yang anti pada paham Wujudiyah Mulhid , Al-Palimbani
menerima gagsan-gagasan tasawuf filosofis tertentu sebagaimana dikembangkan
oleh Ibn Arabi, Al-Jilli, dan Al-Sumatrani yang karya-karya mereka ini ia
rekomendasikan kepada para pengikut Tasawuf Muntahi. Namun ia tidak
menganjurkan karya-karya tersebut dibaca oleh dua tingkatan lain (Mubtadi
dan Mutawassit), untuk dua level ini ia menganjurkan bacaan-bacaan Fiqh
atau karya-karya mistis yang berorientasi Syariat. 11
pada bagian ini terlihat sosok Al-Palimbani sebagi seorang innovator dalam pengajaran
Tasawuf yang ia usahakan agar tidak melenceng dari ortodoksi Islam itu sendiri.
Syaikh Abdus Shamad
Al-Palimbani banyak menghabiskan sisa waktu hidupnya, bahkan wafat di Tanah
Suci. Pada usia belasan tahun, orang tuanya mengirimnya untuk belajar ke tanah
suci. Ia berangkat bersama kedua temannya yaitu Kemas Ahmad bin Abdullah dan Muhammad
Muhyiddin bin Syihabuddin. Bidang yang paling digemarinya adalah Tauhid dan
Tasawuf, dimana untuk yang disebutkan terakhir, ia mengambil ilmu Tarekat
Sammaniyah dari Sayikh Muhammad As-Samman Al-Madani (w. 1749). Ia menjadi teman
seperguruan ulama-ulama terkenal seperti Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari,
Sayaikh Abdul Wahab Bugis, Sayikh Abdul Rahman Al-Batawi Al-Mishri, dan Syaikh
Daud Al-Fathani. Sebelum belajar ke Tanah Suci, Al-Palimbani yang dididik di
dalam lingkungan keraton belajar pertama kali kepada Ulama-Ulama Palembang
seperti tuan Faqih Jalaluddin, Hasanuddin bin Ja’far dan Sayyid Hasan bin Umar
Idrus. Pendidikan
di Palembang ia
lanjutkan ke Keddah
dan Pattani (dulu

9 Moris, Megawati, Al-Ghazali
Influence on Malay Thinkers of 18th and 19th Cebtury,
paper presented to ISTAC as Doctoral Proposal. Hal. 3
10Nurman, Said, Ghazali’s Work and The Influence
in Indonesia, Thesis M.A., Institute of Islamic Studies, Mc.Gill
University, 1992. Hal. 58
11Lih. Azyumardi Azra
: Kontroversi dan Oposisi Terhadap Wahdah Al-Wujud : Wacana Sufisme di Daerah
Indonesia Melayu pada Abad ke-17 dan 18. Artikel. Awani, Gulam Reza, dkk.,
Islam, Iran dan Peradaban, Jogjakarta : Rausyan Fikr, 2012. Hal. 538
Artikel-Artikel
Bebas
Fathani).
Di Pattani ia berteman baik dengan Syaikh Daud Al-Fathani yang kelak menjadi
teman seperguruannya di Tanah Suci. Dari latar belakang pendidikannya ini,
kiranya dapat dimengerti bagaimana salah satu kitab karangannya, Siyar
Al-Shalikin, memainkan peranan penting dalam memperkenalkan pemikiran
Al-Ghazali di antara Muslim di Asia Tenggara. 12
Nampaknya stereotip
buruk dalam kalangan awam yang sering memunculkan kesan negaatif pada Tasawuf
dan pendukung-pendukungnya, atau siapapun yang melakukan generalisasi bahwa
Tasawuf adalah sesat, haruslah, minimalnya mengetahui sosok Al-Palimbani.
Memang terdapat beberapa pihak, seperti kaum Wujudiyah Mulhid,
mempraktikkan Tasawuf yang bertentangan dengan ortodoksi, ataupun mereka yang
mengklaim bahwa Tasawuf adalah bentuk asketisme berlebihan sehingga timbul rasa
“Cinta Miskin”, Nrimo, dan mengasingkan diri. Al-Palimbani malah
mencontohkan bentuk proyeksi positif dari Tasawuf sebagai kehidupan yang penuh
optimism dan berkualitas. Ia mencontohkan totalilitas dalam mencurahkan daya
dan upaya dalam dunia intelektual yang berguna bagi masyarakat luas. Al-Palimbani
memiliki karya-karya lain yang amat penting seperti Kitab Zuhratul Murid
(1764) yang mengkaji masalah Manthiq (logika) dan Ushuluddin
(teologi). Kitab Thufat Al-Raghibin
(1774) berisi tentang bahaya Tasawuf Wujudiyah
Mulhid dan bahaya paganisme seperti menghormati makam secara berlebihan.
Dalam Kitab Nashihah Al-Muslimin wa Tadzkirah Al-Mu’minin fii Fadha’il Jihad
fii Sabilillah, ia mengungkapkan mengenai pentingnya Jihad melawan
kolonialisme. Disamping itu terdapat kitab-kitab lain, seperti :
1.
Urwah
Al-Wutsqa, berisi tentang wirid-wirid pada kondisi tertentu
2. Ratib
Abdus Shamad, semacam buku saku yang berisi dzikir, puji-pujian, dan doa yang
dilakukannya setelah sholat Isya’.
3. Zad
Al-Muttaqin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan oleh gurunya yaitu
Sayikh Muhammad Al-Samman Al-Madani.

12 Ahmad Kazemi Musawi : Kehadiran Mistisisme Islam-Perso dalam
Literatur Indonesia-Melayu.
Artikel. Awani,
Gulam Reza, dkk., Islam, Iran dan Peradaban, Jogjakarta : Rausyan Fikr,
2012. Hal. 475
Artikel-Artikel
Bebas
4.
Risalah
Dzikir, tentang Dzikir.
5.
Siwatha
Al-Anwar.
6.
Fadhail
Al-Ihya Al-Ghazali, mengkaji masalah Tasawuf.
7.
Risyadan
Afdhal Jihad, mengenai keutamaan Jihad.
8.
Kitab-kitab
lainnya.