Sejarah: Tanah-Orang Madura, Mengingat Kembali Peran Pulau Madura dan Masyarakatnya dalam Sejarah Nusantara
Tanah-Orang Madura :
Mengingat Kembali Peran Pulau Madura dan Masyarakatnya dalam Sejarah Nusantara
Oleh
: Arafah Pramasto
Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang besar dan memiliki keragaman etnis beserta coraknya
masing-masing. Dari Pulau Sumatera “Svarnadvipa”, Pulau Jawa yang menjadi pusat
pemerintahan, Pulau Bali dengan pariwisatanya, Nusa Tenggara Barat dan Timur
yang indah, Papua yang eksotis, Kepulauan Maluku yang heterogen, Pulau Sulawesi
yang kental akan adatnya, dan Kalimantan yang sangat kaya. Etnis-etnis pun
sangat beragam yang menyebar di wilayah-wilayah itu, mulsi dari Melayu, Batak,
Jawa, Sunda, Osing, Bali, Sasak, Timor, Papua, Dayak dan banyak lagi yang tidak
bisa disebutkan semuanya. Salah satu yang unik adalah Madura, sebuah nama bagi
pulau ; Pulau Madura dan juga etnis ; Suku Madura. Suku Madura lebih sering
menyebut diri mereka sebagai Oreng
Madhură (terdengar seperti : Madureh)
yang artinya Orang Madura. Beberapa etnis lainnya menyebut dirinya seperti Urang Awak (Suku Minang), atau Wong Kito Galo (Palembang), tapi orang
Madura menyebutkan daerah asalnya, Pulau Madura, dalam menyebutkan identitas
etnisnya. Ini memiliki arti bahwa masyarakat Madura mempunyai “rasa memiliki”
pada daerah asalnya. Apa yang melatarbelakangi hal ini sebenarnya adalah nilai
strategis Madura dan masyarakat di dalamnya yang ternyata dalam sejarah
Nusantara (sebelum adanya konsep Indonesia), telah terbukti peranannya dibutuhkan
oleh pihak diluar identitas Madura.
Sejarawan
Belanda, Dr. H. Kern berpendapat bahwa dahulu Pulau Madura merupakan sebuah
wilayah yang bersatu dengan Pulau Jawa apabila didasarkan Kitab Negarakertagama,
yang ditulis pada 1365 M oleh Mpu Prapanca. Kemudian terjadilah sebuah letusan
gunung berapi disertai gempa yang menciptakan Selat Madura saat ini, sayangnya
tidak disebutkan tahun kejadiannya dengan jelas.[1]
Zainalfatah menyebut kejadian itu terjadi pada 929 M di Jawa terjadi letusan
gunung berapi.[2]
Nampaknya Zainalfatah merujuk pada kejadian perpindahan ibukota Mataram Kuno
pada 929 M akibat letusan gunung berapi. Pendapat ini masih perlu dianalisis
lagi mengingat letusan itu terjadi di daerah Jawa Tengah. Jelasnya Prof. Dr.
A.G. Vreede dan R. Djojoadinegara dalam buku Handleiding tot de Beofening Van De Madoeresch taal, menceritakan
informasi dari sebuah Lontar beraksara
Arab tentang adanya (bentuk) awal pemerintahan di Pulau Madura. Dalam kisah
tersebut dikatakan bahwa raja pertama di Madura adalah Raden Saghara yang
merupakan anak dari Puri Bendhoro Ghung yang masih keturunan dari Jawa.[3] Sualiman
Sadik meyakini bahwa kerajaan di Jawa yang menjadi asal Raden Saghara adalah
Kalingga.[4]
Sekalipun kedua tokoh ini cenderung imajinatif karena keduanya kemudian
dikisahkan mengalami Moksa / menghilang
secara ghaib,[5]
setidaknya sudah ada panjelasan awal mengenai pemerintahan dan asal-usul
identirtas Madura.
Dalam catatan sejarah yang lebih
pasti, Pulau Madura dalam sejarahnya memang menjadi bagian tak terlepaskan dari
Pulau Jawa. Madura adalah Vassal atau
kerajaan bawahan dari otoritas politik Jawa. Dalam Prasasti Sang Hyang
Swadharma yang dikeluarkan oleh Raja Kertanegara dari Singasari, bertanggal 31
Oktober 1269 , dikisahkan mengenai pejabat istana yang bernama Bhanyak Wide
yang bergelar Arya Wiraraja telah dipindahkan ke Sumenep di Madura Timur untuk
menjadi seorang Adipati (Bupati)
karena Raja Kertanegara merasa tidak percaya dengannya.[6] Perlu
dicatat bahwa dalam tatanan pemerintahan Singasari kala itu terdapat empat
tingkatan jabatan yang lebih rendah daripada jabatan Adipati yaitu Pati(h), Demang,
Tumenggung , dan Rangga .[7]
Peran Arya Wiraraja sangatlah besar dalam mengarsiteki pembentukan Kerajaan
Majapahit. Dari sarannya kemudian Raden Wijaya mampu mendapat izin Jayakatwang
yang telah membunuh Kertanegara mertua Raden Wijaya, untuk membuka hutan Trik (Tarik) sebagai cikal-bakal
Kerajaan yang akan menjadi Imperium di Nusantara itu. Kitab Pararaton
menceritakan waktu itu orang Madura-lah yang membabat / membuka alas (Duk makitinaruka dening Madura) dan
menandai awal penemuan nama “Majapahit” (Kasub
yan wonten wohing Maja dahat apahit rasanipun singgih ka ingaran ing Majapahit).[8]
Hutan Tarik pun menjadi sebuah tempat bernama Majapahit yang mulai ramai, Raden
Wijaya kemudian membangun keraton. Arya Wiraraja adalah inisiator yang membawa
orang Madura untuk mendirikan Majapahit yang kelak akan besar namanya.
Orang-orang Madura ini tidak langsung kembali setelah membuka Hutan Tarik,
namun mereka tinggal untuk dilatih perang oleh Raden Wijaya. [9]
Jadi, cikal-bakal angkatan perang Majapahit awalnya diisi oleh jajaran orang
Madura. Peran orang Madura juga sangat dibutuhkan tatkala melakukan penyebuan
terhadap Jayakatwang dan pengusiran tentara Mongol. Kitab Pararaton
menceritakan rasa hutang budi yang amat besar dalam diri Raden Wijaya sehingga
ia berjani untuk membagi tanah Jawa menjadi dua dan separuhnya untuk Arya
Wiraraja.[10]
Setelah melihat peran besar orang
Madura dalam meletakkan batu pendirian Kerajaan Majapahit yang masyhur,
ternyata masih ada beberapa peran besar lagi yang patut dicatatkan dalam
sejarah. Seperti contohnya ialah di masa-masa awal Islam, Madura adalah sebuah
wilayah yang memiliki kerajaan-kerajaan semi-independen dibawah pengaruh Demak.
Seperti saat Pamekasan yang dipimpin oleh Ronggosukowati di masa
pemerintahannya, Pamekasan harus menghadapi invasi Kerajaan Bali. Invasi ini
dipercayai karena Madura pernah membantu Demak saat menyerbu Kerajaan
Blambangan Hindu yang dianggap oleh pihak Bali sebagai nenek moyangnya. Disamping
itu kita mendapatkan pertanyaan yang lebih besar lagi, mengapa Bali tidak
langsung menyerbu Jawa / Demak apabila ditilik dari kedekatan geografis
keduanya (antara wilayah ujung Jawa di Blambangan dengan Bali). Nampaknya
Kerajaan Bali menilai Madura sebagai sebuah Entrepot
penting sebelum menguasai wilayah-wilayah lainnya di pesisir Jawa. Menurut A.
Sulaiman Sadik, penyerbuan Bali juga terjadi di seluruh wilayah lainnya di
Madura. Di Pamekasan, pasukan Bali sempat menyerbu kedalam wilayah kota
Pamekasan melalui aliran dari muara sungai. Tempat dimana pasukan Bali itu
menambatkan (bahasa Madura : Acangcang)
Jung-Jung (kapal) nya itu kini disebut sebagai Desa Jhungcangcang. Pasukan Bali
langsung disambut oleh balatentara Pamekasan. Kemenangan pun berpihak pada
kerajaan Pamekasan, sisa-sisa pasukan Bali melarikan diri dan selebihnya dan
yang meminta penghidupan kepada masyarakat sekitar. Hingga kini masih ada
keturunan pasukan Bali yang hidup di kawasan Jhungcangcang. [11]
Dengan kegagalan invasi Bali di Madura, bahkan kekalahan serupa juga terjadi di
Sumenep (dikenal sebagai Perang Ghirpapas), menunjukkan peran Pulau Madura
sebagai daerah penyangga bagi geopolitik dalam hal ini adalah Jawa.
Selanjutnya pada abad ke-17,
tepatnya pada 27 April 1624, Daghregister
(catatan harian) yang ditulis oleh Juru
Tulis VOC mengabarkan bahwa Cornelis Van Maseyck mendengar kabar dari
Demak tentang rencana Mataram yang akan menyerang Surabaya. Pada periode ini
angin politik telah menjadikan Mataram Islam mulai menggantikan kekuasaan
Pajang dan Demak. Sultan Agung Hanyorokusumo yang memerintah Mataram saat itu tengah
menyiapkan sebuah kesultanan besar namun ia menghadapi kenyataan bahwa ia harus
menaklukkan daerah-daerah pesisir yang saat itu memiliki kedaulatan. Di
Madura-salah satu wilayah yang diincar Mataram- terdapat beberapa kerajaan
seperti Arosbaya, Blega, Madhegghan, Pacangan, Pamekasan, dan Sumenep. Kerajaan-kerajaan
Madura dipimpin oleh keturunan-keturunan Majapahit, contohnya ialah
Ronnggosukowati sebagai keturunan dari Raja Wikramawardhana.[12]
Di masa Majapahit mereka disebut sebagai Kametowa
(Raja Muda), namun setelah runtuhnya Majapahit dan di bawah pengaruh Demak,
para penguasa Madura disebut Rato (Raja).
Mataram yang merasa sebagai negeri “pengganti” atas kejayaan Majapahit, atas
dasar pergantian politik dari Majapahit-Demak-Pajang hingga kekuasaan jatuh ke
tangan Sutowijoyo- nenek moyang Sultan Agung. Mataram tidak mengakui kedaulatan
wilayah pesisir, termasuk di Madura. Dalam Serat
Kondho disebutkan gelar bagi para penguasa Madura sebagai Adipati.[13]
Gelar ini terakhir kali disandang oleh penguasa Madura pada masa Singasari.
Dalam Daghregister dilaporkan
bahwa perang antara Madura dan Mataram dimulai, dengan pendaratan pasukan
Mataram, pada 1 Juli 1624. Menurut surat Tumenggung Baurekso di Kendal, Mataram
merasa optimis dalam perang ini. Tentara Madura sendiri kala itu berada di
bawah komando persatuan Pangeran Emmas yang menjadi Rato di Arosbaya.. Sebanyak 2000 prajurit Madura yang awalnya sudah
kocar-kacir, dengan gagah berani kembali menyerbu pasukan Mataram sebagaimana
disebutkan dalam Daghregister tertanggal
22 Agustus. Sebanyak 17 pembesar pasukan Mataram terbunuh, termasuk Adipati
Sujanapura, seorang panglima Mataram. Tewasnya Sujanapura ditanggapi dengan
pengiriman panglima Mataram lainnya, Panglima Juru Kiting yang terkenal itu.
Kesultanan Mataram sebenarnya harus
menebus kemenangannya dengan begitu mahal. Dalam persiapan awal penyerbuan
Madura, Daghregister tanggal 1 Mei menyebutkan bahwa Kadipaten Kendal
ditugaskan untuk mengirim semua laki-laki guna dilatih sebagai prajurit
Mataram. Adipati Pragola yang memimpin Kadipaten Pati juga mendapatkan tugas
yang sama dari Sultan. Untungnya Juru Kiting yang terkenal sakti itu mampu
membawakan kemenangan kepada Mataram. Arosbaya yang pertama kali ditaklukkan
setelah dengan kuatnya dipertahankan oleh Pangeran Emmas. Penguasa Arosbaya itu
akhirnya melarikan diri ke Kediri. Penguasa Blega yang menyerah akhirnya
ditangkap namun kemudian dibunuh di tengah jalan saat digiring ke Mataram,
tepatnya di sebuah tempat yang bernama Jurang Jerro. Raden Praseno dari Sampang
kemudian menyerah yang kelak dijadikan wakil Mataram sebagai Cakranengrat I.
Berdasarkan Daghregister 15
September dikabarkan bahwa Sultan Agung
harus mengerahkan 80.000 prajurit yang diangkut oleh kapal-kapal, bahkan
Mataram sampai kehabisan kapal untuk membawa komoditi beras ke Batavia. Kejadian
ini terlihat dalam Daghregister tanggal
12 Oktober yang meyebutkan bahwa dua kerajaan yang paling sulit dikuasai adalah
Pamekasan dan Sumenep. Penyerbuan ke wilayah Madura Timur memeang tidak
disebutkan dalam Serat Kondho dan Babad Mataram. Sekalipun sedemikian
memang dua sumber Mataram ini memang masih harus dipertanyakan otentisitas dan
objektifitasnya. Sebagai contoh ialah dalam Serat
Kondho disebutkan jumlah pasukan Madura sebanyak 100.000 , padahal dalam Daghregister tertanggal 22 Agustus, pasukan
Madura yang kocar-kacir sebanyak 2000 orang, dengan kemungkinan jumlah awal
prajurit Madura sekitar 10.000-25.000 orang. Hal tersebut (jumlah 100.000
orang), sangat tidak mungkin mengingat Madura bukanlah kesultanan besar seperti
Mataram. Werdisastro dalam Bhabhad
Songennep memperkirakan perang
terakhir invasi Mataram terjadi di Madura Timur. [14]
Zainalfatah juga meyakini bahwa Pamekasan yang menolak menyerah pada Mataram
akhirnya dibawah Ronggosukowati memilih Perang Puputan bersama seluruh punggawa
Istana karena kekuatan yang tidak sebanding dengan Mataram.[15]
Rangkaian sejarah yang telah
diuraikan di atas bukanlah sebuah wacana untuk mengungkit kembali tentang apa
yang telah terjadi, terutama tentang perang Mataram-Madura yang bisa dibilang
cukup menyakitkan. Tapi yang perlu diteladani atau minimal diusahakan adalah
bagaimana caranya bisa membuat sejarah masa lalu sebagai “Masa Depan”-sesuai
dengan motto Historia Vitae Magistra (Sejarah menciptakan kebijaksanaan)-.
Dalam masa-masa berikutnya, saat itu di Hindia Belanda, semua mata menjadi
saksi bagaimana Thabrani, seorang putra Pamekasan yang menjadi pelopor Sumpah
Pemuda.[16] Di
zaman revolusi pun sejarah telah melihat putra Madura lainnya, Marsda Anumerta
Abdul Halim Perdana Kusuma, terlahir di Sampang, [17]
ia gugur saat ditugaskan untuk membeli persenjataan dari Thailand. Bersama
rekannya, Marsma Iswahyudi ia membela NKRI di front Sumatera. Dalam bangkai
pesawat jenisi Anderson yang ditemukan, hanya jasadnya yang ada, sedangkan
Iswahyudi sendiri tidak diketahui kemana rimbanya. Ataupun seperti Wardiman,
putra Pamekasan yang mampu membina karir hingga ke tingkat Menteri Pendidikan
masa Orde Baru.
Sekarang Indonesia mendapatkan juga sosok-sosok
seperti Andi Oktavian Latief, Shohibul Maromi, dan Ali Ichsanul Qauli yang
pernah mengharumkan nama Indonesia di kancah Olimpiade Fisika Internasional.
Ditambah lagi Alyssa Diva Mustika yang menjuarai Olimpiade Matematika Internasional
pada tahun 2011.
Mereka semua berprestasi bukan untuk diri dan
identitas mereka semata. Seperti pendahulu-pendahulu Madura yang ikut
meneteskan peluh dan darah untuk Majapahit, mempertahankan Madura dari invasi
Bali, bahkan sekalipun Madura menolak diduduki oleh Mataram, tanpa takluknya
Madura kemungkinan besar Mataram tidak akan pernah bisa menyatukan Jawa dan
Sultan Agung tidak akan pernag diakui “Agung” dalam sejarah. Kini putra-putra
Madura masih terus siap sedia mencucurkan peluhnya demi berkontribusi pada
Indonesia yang mereka cintai ini. Sekalipun lebih sering kita dapati ironi
tentang orang Madura sebagai “Penjual Sate” yang medok bahasanya, berkumis, dan
pastinya hanya sebagai figuran di Layar Kaca. Ya (hanya) di Layar Kaca !.
[1] Dikutip dalam Kasdi, Amiruddin, Memahami
Sejarah, Surabaya : UNESA University Press, 2001.
[2] Zainalfatah, R., Cara
Pamarentaan e Polo Madhura ban Lo-Polo Sakobangnga, Pamekasan : t.p., 1951.
[3] Hadiwidjojo, R. Sunarto, Pamong
Praja dan Sewindu Pembangunan Desa 1950-1960, Pamekasan : t.p., 1959.
[4] Sadik, A. Sulaiman, Sangkolan,
Pamekasan : Dinas P dan K Kabupaten Pamekasan, 2006.
[5] Ibid
[6] Sukarto, M.M. , dalam Majalah Arkeologi edisi VII, 1989.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Sadik, A. Sulaiman, Sangkolan,
Pamekasan : Dinas P dan K Kabupaten Pamekasan, 2006.
[10] Ibid
[11]www.lontarmadura.com
diakses 14/April/2014
[12] Sadik, A. Sulaiman, Sangkolan,
Pamekasan : Dinas P dan K Kabupaten Pamekasan, 2006.
[13] Ibid
[14] Werdisastro, R., Babad
Songennep, Sumenep :t.p., 1914.
[15] Zainalfatah, R., Cara
Pamarentaan e Polo Madhura ban Lo-Polo Sakobangnga, Pamekasan : t.p., 1951.
[16] Sadik, A. Sulaiman, Sangkolan,
Pamekasan : Dinas P dan K Kabupaten Pamekasan, 2006.
[17] www.tokohindonesia.com diakses 26/April/2014